Generation Next: Monica Karina

Artikel ini awalnya diterbitkan pada Januari 2020 di 247 COTTONINK Magazine

 

Monica Karina pertama kali masuk radar kami pada tahun 2018 ketika dia tampil dalam lagu terbaru Dipha Barus, "Money Honey (Count Me In)". Kami kemudian bertemu dengannya untuk wawancara sekitar beberapa bulan setelah lagu tersebut dirilis. Hampir dua tahun kemudian, dia masih keren seperti terakhir kali kami bertemu, hanya sekarang dengan warna rambut half-and-half yang lebih berani, ditambah album yang rencananya akan dirilis tahun ini. Keep on reading untuk mengetahui obrolan kami dengan Monica Karina tentang musiknya, pandangannya tentang orang-orang yang suka merekam konser lewat Instagram, dan yang paling penting, albumnya yang akan datang.

 

Kita pertama kali ketemu di tahun 2018. What kind of person you were back then and how have you changed since then?

The thing that’s changed over the past two years is, obviously, my hair. It’s now colored half-and-half. Aku juga sekarang memakai banyak missmatched stuff karena warna rambutku. On a more serious note—mungkin akan lebih relevan kalau aku bicara tentang musik—aku sudah menghabiskan satu tahun terakhir, lebih dari satu tahun, mencoba mencari tahu where I want to take my music dan mengelilingi diriku dengan orang-orang yang aku sayangi dan I love to work with. Aku belajar untuk memprioritaskan diri sendiri.

 

Boleh share nggak top artists di Spotify Wrapped kamu?

Aku akan mulai dari yang nomor satu, Mahalia. Dia salah satu musisi R&B favoritku dan cukup underrated menurutku. Yang kedua adalah Jakob Ogawa, yang ketiga adalah J.Cole, yang keempat adalah Ariana Grande—aku nggak tau kenapa, tapi dia ada di list lima besar—dan yang kelima adalah Dipha Barus, everyoneI’m not kidding! Mungkin aku orangnya narsis, jadi aku dengerin lagu-laguku sendiri di Spotify, makanya Dipha Barus jadi salah satu top artists. Barengan juga sama "Skin to Skin", salah satu laguku yang paling banyak aku dengerin.

 

Apakah mereka semua inspirasi kamu dalam bermusik?

Definitely, yes. Aku rasa inspirasi benar-benar bisa datang dari mana aja, seperti dari menonton film, music videos, fashion clips... Aku mendapatkan inspirasi dari mana aja. Tapi inspirasi tersebut nggak hanya datang dari kelima musisi yang aku sebut sebelumnya, termasuk Dipha yang aku temui setiap hari! Sehari-harinya, aku mencoba untuk mengulik dan mendengarkan banyak musik baru, dan aku nggak membatasi diri pada genre tertentu. Personally, aku pikir sebagai musisi kita harus fluid dalam segala hal. Kita harus bisa menyerap banyak hal. Aku pendatang baru di industri ini, jadi aku merasa harus belajar lebih banyak lagi.

 

How do you manage to stay true to yourself in the scene where a lot of artists are always upping the pace of their releases?

Secara teknis, tetap jadi diri sendiri itu, ya, soal jujur terhadap diri sendiri. Mungkin bagiku sebagai musisi, aku harus tahu visiku dan apa yang aku sukai. Sederhananya, kalau aku menerapkan hal-hal yang tadi aku katakan dalam kehidupan sehari-hari, ini lebih tentang gimana aku membuat musik yang aku sukai. Seharusnya aku nggak memikirkan tren mana yang akan disukai orang pada tahun 2020, atau jenis musik apa yang akan lebih banyak diputar. I mean that’s not wrong if that’s how you do it, karena nggak ada salah dan benar dalam berkarya. Tetapi secara pribadi, aku cuma membuat hal-hal yang benar-benar aku sukai, karena kepuasan itu nggak datang dari cara lain. Senarsis apa pun aku 

sampai-sampai mendengarkan lagu sendiri di tahun 2019, aku pikir ada perasaan yang bikin aku terus dengerin lagu itu lagi dan lagi, karena aku suka. Aku ingin terus punya perasaan itu.

 

Deskripsikan musik kamu dalam tiga kata.

Oh, this is hard! Straightforward, sentimental, fun. Mungkin aku nggak mau membocorkan terlalu banyak karena aku punya banyak hal yang akan datang di tahun 2020, dan itu kayak gagasan umumnya.

 

Media sosial telah mengubah cara orang experience konser. Gimana perasaan kamu tentang orang-orang yang instagramming momen live show favorit mereka?

Aku rasa akan terdengar naif untuk mengatakan kalau aku menentang hal tersebut. It’s just the thing now, it’s the lifestyle. Everything is on Instagram. Jadi, ya, orang merekam hal-hal sepanjang waktu di Instagram. Aku rasa itu sesuatu yang harus kita jalani aja sekarang. Banyak orang menganggapnya sebagai hal yang negatif, tetapi aku pikir kita hanya perlu mencoba melihatnya in a different light. Kalau orang mau merekam kalian, itu berarti mereka menghargai kalian dan seenggaknya mereka peduli sama kalian. It’s not like the best feeling ever to have everyone just holding their phones up. Katakanlah nanti aku punya showcase sendiri, aku mungkin akan meluangkan waktu untuk meminta orang-orang meletakkan ponsel mereka dan be intimate and be here for the moment.

 

At least they can move a little!

Yeah, at least have fun! Mungkin, satu hal lain yang aku sukai tentang live show, ada orang-orang yang memberi tahu aku, entah lewat DM atau langsung mendatangi aku dan bilang kalau mereka menyukai musikku dan perasaan yang muncul ketika mereka mendengarkannya. They love their own nostalgia to it. Dan aku pikir, bermusik nggak selalu tentang menciptakan apa yang ingin aku ungkapkan. Bagaimana aku membuat musik itu, ya, sesuai visi aku sendiri. Tetapi begitu musik dirilis, itu semacam jadi milik orang lain sejak saat itu. Aku bukan tipe orang yang ngasih tau orang-orang arti dari laguku. Justru yang paling indah, orang-orang bisa menginterpretasi laguku dengan cara yang berbeda.