Mereda bersama Kunto Aji

Artikel ini awalnya diterbitkan pada Mei 2019 di 247 COTTONINK Magazine

 

Kunto Aji adalah tipikal musisi yang mampu menenangkan telinga seperti ia menenangkan pikiran para pendengarnya. Melalui kaya terbarunya, Mantra Mantra, pria 32 tahun ini mengingatkan kita untuk melepaskan, membiarkan kekhawatiran pergi, dan beristirahat dari hal luar biasa yang bernama kehidupan. Berdasarkan masalah personalnya, Aji, seperti dia biasa dipanggil, mendefinisikan proses dari membuat rekaman sebagai sesuatu yang terapeutik. Ia pun sempat terkejut oleh kenyataan kalau bentuk terapinya juga bisa berfungsi sebagai obat penyemangat diri. #CottoninkTeam berkesempatan untuk duduk dengan Aji membicarakan tentang membuka diri, menjadi medium, dan kompetisi menyanyi yang memulai segalanya.

 

Bagaimana perasaan Aji setelah mengalami kesuksesan dari Mantra Mantra?

Saya kehabisan kata-kata. Meski begitu, saya tidak menyebutnya ‘kesuksesan’ karena kata tersebut mengimplikasikan kalau saya membandingkannya dengan karya sebelumnya. Namun album ini benar-benar membuka banyak hal untuk saya sebagai seniman dan melihat langsung apa yang bisa dilakukan musik untuk hidup banyak orang. Mampu terkoneksi dalam tingkatan spiritual dengan pendengr mungkin adalah makna paling dekat dari ‘kesuksesan’. Saya sangat menghargai hal tersebut.

 

Dalam keadaan apa album ini dibuat?

Saya sedang menghadapi masalah personal. Untuk itu saya mencoba untuk sejujur yang saya bisa dan medorong diri sendiri untuk menghadapi apa pun masalah yang terjadi saat itu. Itulah bagaimana Mantra Mantra bermula. Sampai sekarang saya masih belum bisa memproses ketika orang-orang membagikan hal yang mereka rasakan setelah mendengar album tersebut karena sambutannya lebih dari yang saya harapkan.

 

Untuk lagu “Rehat”, Aji meminta orang-orang mengirimkan video pendek dan mengompilasinya sebagai video klip single tersebut. Apa yang menginspirasi Aji melakukannya?

Setelah tahu kalau lagunya menjadi trek katarsis bagi seseorang yang menderita PTSD [post-traumatic stress disorder] dan depresi, saya mendapat energi yang sangat besar dan menyadari bagaimana lagu yang datang dari masalah saya juga memiliki kemampuan untuk membantu orang lain. Jadi saya merasa bertanggung jawab untuk membuat elemen visual yang representatif. Saya hanya ingin sesuatu yang terasa nyata ketika orang-orang menontonnya.

 

Apa yang ada di pikiran ketika menyelesaikan video klipnya?

Awalnya saya pikir tim akan menggunakan rekaman orang-orang sebanyak 30% saja dan sisanya berasal dari shoot yang kami lakukan. Namun akhirnya jadi 95% dari keseluruhan video dan sisanya hanya sedikit yang kami shoot sendiri. Saya mendapatkan kiriman 1246 video sampai waktu deadline dan tidak percaya sebaik apa jadinya ini. Salah satu adegan favorit saya adalah ketika pintu dari kereta yang penuh terbuka dan tertutup. Momen seperti itu tidaklah bisa direplikasi. Saya merasa karena momen tersebut, kekuatan dari lagunya jadi berlipat ganda sangat banyak.

 

Apa yang terlintas di pikiran Aji saat menulis “Rehat”?

Saya baru melewati titik terendah dalam hidup dan menciptakannya adalah cara untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Sebagai sesuatu yang terus mengingatkan kalau kalian tidak dapat mengontrol segala hal dalam hidup. Ini tentang kesadaran diri, perhatian, dan bagaimana kita sebagai manusia harus melihat emosi yang dialami seperti sebuah sungai, serta di mana kita bisa beristirahat sejenak dan tidak memaksakan diri.

 

Bagaimana album ini mengubah Aji?

Proses dari pembuatannya sendiri sangat mengubah hidup. Sebelumnya saya selalu memiliki kontrol kreatif untuk semua hal. Tapi untuk Mantra Mantra, saya bekerja dengan empat produserAnkadiov Subran, Petra Sihombing, Anugrah Swastadi, dan Bam Mastrodan kepada orang-orang inilah pintu untuk masuk ke dunia saya terbuka. Ini dilakukan dalam rangka membuat diri saya lebih sehat dan tidak terlalu tertutup.

 

Sudahkah menjadi lebih terbuka memberikan hasil yang menyenangkan sejauh ini?

Tentu saja! Album ini adalah hasil dari membuka diri dan sekarang saya tahu kalau saya dimaksudkan untuk menjadi media. Salah satu alasan mengapa saya menyebut panggung sebagai sebuah terapi adalah karena saya mengalami keadaan trance ketika tampil. Energi besar terasa melewati saya dan harus disebarkan ke segala penjuru. Saya menemukan tujuan hidup melalui ini serta setiap momen dan halangan yang dilewati dalam hidup, besar atau kecil, jadi masuk akal dan membawa ke tempat saya sekarang.

 

Mari berandai-andai. Kira-kira apa reaksi Kunto Aji yang kita lihat dari acara kompetisi menyanyi ketika melihat Kunto Aji yang sekarang?

Hahaha. Dia akan sangat senang sekali! Ini telah menjadi mimpi sejak kecil. Meski begitu, saya orang yang cukup realistis karena dulu ketika tinggal di Yogyakarta, saya tahu kalau akan sulit untuk menembus industri sebagai musisi. Dan benar saja kalau perlu waktu 11 tahun untuk berada di posisi saya saat ini. Tadinya saya adalah mahasiswa akuntansi dengan tujuan berwirausaha yang juga memiliki cita-cita sebagai seniman dengan idealisme sendiri. Saya bersyukur akan bagaimana kedua sisi tersebut berkolaborasi dan membentuk diri saya sekarang.

 

Jadi, apa selanjutnya dari Kunto Aji?

Saya sedang mempersiapkan sesuatu sehingga Mantra Mantra tidak hanya berakhir sebagai kelegaan musikal tapi juga sesuatu yang mengkatalisasi obrolan mengenai kesehatan mental. Saya menghubungi teman-teman saya dari komunitas yang bergerak pada isu ini sehingga kami bisa melakukan sesuatu yang lebih dari meningkatkan kesadaran. Banyak orang masih memiliki keraguan untuk membicarakan isu ini karena masih banyak stigma yang melekat. Ini seharusnya tidak terjadi. Saya ingin menjadi jembatan yang membawa orang-orang untuk buka suara dan membantu cerita pergumulan mereka didengar.